Jumat, 28 Juli 2017

Cerpen “SMANSADASE Mengapung”.

Sembuluh Dua, 24 Juli 2017 17.00 WIB
Oleh : Silpanus


“Tolooooongg, aku tenggelam? teriak bu Nopi

Sinar mentari pagi perlahan menerangi tapak demi tapak setiap jalan yang di lalui oleh rombongan guru SMANSADASE yang saat itu sedang menuju ujung pandaran, nampak mobil putih berlabel mobilio dan rush hitam meluncur menelusuri sepanjang jalan desa sembuluh menuju sampit, jam menunjukan pukul setengah lima pagi nampak mobil honda putih itu melaju kencang ketika tiba di jalan beraspal meninggalkan rush hitam yang masih berjibaku dengan tanah latrit, “Memang supir mantab pa yasir itu?”. Ujar pa. Kinoy yang nampak mabuk perjalanan. “Sing ada lawan we?”. Balas pa Iful yang duduk di sebelahnya.

Perjalanan masih jauh, sementara beberapa orang guru yang lain sudah menunggu di sampit sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Bu Dibe, gimana logistik kita, apa sudah siap?”. Ujar bu Santi lewat telpon selulernya. “Sudah siap, yang belum cuma nunggu nasi aja?”. Balas bu Dibe. “Kalau gitu, kami sambil jalan aja, bila masih sempat kami menunggu di sekitar bundaran KB, sekalian nunggu rombongan bu Eva sama bu Choirul?”. “Oke, sip?”. Balas bu Dibe.
Jam sudah menunjukan pukul setengah enam, mobil ertiga dan avanza putih melintas jalan H.M Arsyad menuju bundaran KB. “Jam berapa otw ke ujung pandaran?”. Sebuah pesan pa Sil  di group WA SMANSADASE, beberapa saat kemudian ada cuitan pa Santo dan bu Siti. “Ini kami sudah meluncur ke bundaran KB?” kemudian pa Sil menyusul rombongan bu Santi dan bu Siti. Sementara dalam perjalanan, ada cuitan di WA. “Pa sil, dimana posisi, bu Eva dimana posisi?”. Cuitan WA bu Santi. “Kami masih di pal 56?” cuitan balasan bu Eva. “Oke, kalau gitu kami duluan?”. Balas bu Santi lewat cuitan WA nya.
“Berapa harganya bu?”.Ujar bu Santi
Avansa, ertiga dan ayla pun melaju melintasi jalan menuju ujung pandaran, rencananya akan berhenti sejenak di desa lampuyang tempat pa Kalyudi untuk mengambil logistik lainnya. Kurang lebih setengah jam perjalanan, tiba tiba avanza rombongan bu Santi berhenti, sejurus kemudian nampak bu Santi berlari kecil menyeberangi jalan menuju sebuah tempat penjualan buah nenas. “Berapa harganya bu?”.Ujar bu Santi sambil menimang beberapa biji buah nenas. Beberapa saat kemudian nampak bu Santi membayar sejumlah uang kepada penjual nenas itu, kemudian kembali ke mobil avanza nya. Kembali ketiga mobil yang membawa rombongan trip pertama itu melaju melintasi jalan menuju desa lampuyang.


“Ayo pa santo, bawa logistik kita?”. Ujar. Pa Kalyudi
Hampir satu jam perjalan dari bundaran KB, akhirnya rombongan avanza, ertiga dan ayla tiba di desa Lampuyang, salah satu desa yang masuk dalam Kabupaten Kotawaringin Timur. “Ayo pa santo, bawa logistik kita?”. Ujar. Pa Kalyudi sambil menenteng beberapa biji buah kelapa muda dari kebun miliknya. Sementara itu beberapa anggota rombongan mampir di sebuah warung yang menjual beberapa kudapan, kebetulan hari masih pagi dan ada yang belum sempat sarapan. “Saya pesan kopi saja?”. Kata pa.Ari suaminya bu Rahmi. “Kalau saya,  pesan teh saja, soalnya gak biasa ngopi?’. Pesan pa Sil yang duduk di sebelah pa Ari.

“Mama, saya pesan kopi?”. Teriak Farel
“Saya, sudah terbiasa pa Sil, jadi kalau tidak ngopi rasanya pahit gitu, nah ngopi plus ini pa Sil?”. Sambung pa Ari seraya mengeluarkan rokok kreteknya. Pa Romi, suaminya bu Santi menghampiri mereka yang sedang menikmati kudapannya, “Seumur hidup, saya baru kali ini melihat isi bangunan sarang walet, ternyata begitu isi dalamnya?”. Ujar pa.Romi, kebetulan di tempat pa Kalyudi itu ada beberapa bangunan sarang walet milik keluarga besar pa Kalyudi, “Eh, pa? Kira kira sengaja ya pakai baju terbalik?”. Celetuk pa Sil dengan pa Romi, sontak saja pa Romi memperhatikan pakaiannya. “Astafirullah?.. ternyata saya tidak sadar pakai baju terbalik dari sampit tadi, hahahahaha?”. Pa. Romi pun bergegas melepas pakaiannya, “Kenapa yah?”. Ujar bu Santi istrinya yang memperhatikan pa Romi suaminya melepas pakaiannya. “Iya ini, ternyata saya gak sadar pakai baju terbalik, untung di kasih tahu oleh pa Sil?”. Sahut pa Romi. “Saya tadi tidak perhatikan juga, kalau pa Romi pakai baju terbalik?”. Ujar pa Kalyudi yang juga bersamaan datang dengan pa Santo sehabis memantau rumah walet miliknya.

Tidak beberapa saat, sebuah mobil fortuner hitam tiba di dekat warung, ternyata rombongan bu Hadi bersama suaminya  “Sudah lama ya nunggu?” ujar pa Edi suami bu Hadi, “Baru saja pa?”. Sahut pa Ari. “Ayo pak minum?” “Iya, silahkan, saya sudah tadi?”. “Mama, saya pesan kopi?”. Teriak Farel anaknya ibu Erna, ternyata anak usia 10 tahun suka juga minum kopi tidak kalah dengan orang dewasa. Sementara anak anak yang lain sibuk dengan main kucing nya Adra. Setelah selesai menikmati kudapan, rombongan avanza, ertiga dan ayla kembali lebih dulu meluncur menuju ujung pandaran yang menyisakan 20 kilometer lagi, sementara rombongan bu Hadi menunggu rombongan bu Eva, bu Choirul dan pa Ufik yang masih beberapa kilometer lagi tiba.


Hamparan kanan terbentang beberapa persawahan milik penduduk yang terurus dengan baik, ditempat ini merupakan salah satu lumbung padi milik Kabupaten Kotawaringin Timur. Angin kencang di sekitar pantai menyambut kedatangan rombongan guru guru SMAN-1 Danau Sembuluh, suasana laut di akhir bulan Juli nampak bergelombang cukup besar dari biasanya, desiran angin laut pun nampak menebarkan hawa dingin yang seakan menusuk tulang, panasnya sinar matahari tersapu oleh hembusan keras angin laut namun mampu membakar kulit. Setelah menyelesaikan admin untuk tiga buah pondok bu Susanti sang ketua rombonganpun membawa rombongan ke tempat singgah semua guru guru dan keluarga untuk rehat.


“Pa Sil, ayo kudapan, ini request kemarin?”. 
Ujar bu Rahmi
“Pa Sil, ayo kudapan, ini request kemarin?”. Ujar bu Rahmi menawarkan beberapa kue kue basah, guru guru pun menikmati kudapan yang di bawa oleh bu Dibe yang di belinya di pasar tradisional sampit. Sementara anak anak berlarian menuju ombak yang saling berkejaran menyisir pantai ujung pandaran. Nampak beberapa pengunjung dari berbagai tempat juga memenuhi tempat wisata tersebut, ada yang dari rombongan instansi, dan beberapa dari kalangan keluarga masing masing. Disudut pondok nampak pa Romi, pa Ufik dan pa Santo asyik membelah buah kelapa untuk di ambil airnya.




“Kalau punya pa Ufik ne, jika seperti ini cara
membukanya langsung lowau, oleh saking
besarnya?”. Balas pa Santo.
“Nah yang ini pas lobangnya pa Ufik?”. Celetuk pa Santo sambil menuangkan air buah kelapa yang di belah oleh pa Romi ke dalam tong air. “Heeee, kan sudah pengalaman we, cara membukanya?”. Balas pa Romi. “Kalau punya pa Ufik ne, jika seperti ini cara membukanya langsung lowau, oleh saking besarnya?”. Balas pa Santo. “Hahahahahaha, sesuai ukuran jua we ay?”. Balas pa Ufik santai. “Kan jadi mudah jalannya?”. Timpalnya lagi. “Hahahahahahaha, ketiganya pun tertawa lepas, maklum satu pikiran jadi paham dengan perkataannya.




Episode menikmati kudapanpun berakhir, lalu lanjut dengan sarapan, bekal bekal yang sudah dipersiapkan kembali di hidangkan oleh bu Dibe, bu Santi dan bu Siti. Bagi yang lupa membawa perlengkapan piring dan sendok terpaksa menggunakan tutup tupperware seadanya. “Ah, adik kaka ne sama saja, makan pakai tutup tupperware?”. Celetuk pa Sil dengan bu Nopi dan bu Sari. “Biar aja pa Sil, yang penting ada tempat makan?”. Balas bu Nopi sambil menikmati ikan asinnya dengan lahap. “Waduh, kok bekas makanan di taruh di tempat saya!”. Ujar bu Dibe yang terkejut ketika bekas tulang ikan menumpuk di piring makannya. “Lho, saya pikir sudah selesai makannya?”. Balas bu Ida yang sengaja menaruh tulang tulang ikan itu di piring bu Dibe. “Saya itu mau menambah nasi bu Ida, masih lapar ini?. Saya belum selesai makan?”. Sahut bu Dibe sambil mengeluarkan satu persatu tulang ikan yang masuk ke piringnya. “Hihihihi?”. Nampak bu Sari (panggilan untuk ibunya idon, saridon) tertawa lirih melihat nasib adik nya jadi korban buly oleh bu Ida. “Eh, bu Sari, koq ketawanya cuma hihihihi gitu?”. Ujar bu Nopi di sebelahnya. “Kalau saya tertawa hahahaha, takutnya ikan asin yang saya makan ini bisa malacung, taulah malacung?”. “Nggak?”. Balas bu Nopi.


“Ah?, itu nah, keluar dari mulut dengan cara meloncat?”. Ujar bu Sari menjelaskan pada bu Nopi yang pura pura tidak tahu. “Ohhh, tapacul gitu ya?”. “Astaga? Bukan itu!. Kalau itu artinya cangkul?”. “Hah!, apa nggak salah tuh?”. Timpal bu Nopi. “Benar?”. Ujar bu Sari meyakinkan. “Setahu saya tapacul itu, artinya terlepas?”. “Kamu salah bu Nopi, tapacul itu artinya cangkul?”. “Waduh, jadi pusing saya?”. Ujar bu Nopi yang nampak kebingungan. “Jangankan kamu, saya saja sudah dari tadi pusing?”. Balas bu Sari.


“Hah!. Memangnya pusing kenapa bu Sari, padahal sudah makan tuh?”. “Bukan karena pusing belum makan?”. “Terus? Pusing oleh apa?”. “Ini, lihat ini?”. Ujar bu Sari sambil menunjukan ikan asin miliknya. “Saya pusing, dari tadi oleh karena ini?”. “Memangnya apa yang salah dengan ikan asin itu bu Sari?”. “Waduh, kamu ini kurang paham ya?, ini ikan asin yang di kasih adik saya bu Dibe itu, masa tulang semua tidak ada satupun dagingnya?”. Ujar bu Sari protes “Hihihihihihi, itu sudah pas buat kamu bu Sari?”. Ujar bu Nopi sambil tertawa lirih.


“Pas apanya, gigi saya sampai nyilu mengunyah tulang ikan asin ini nggak remuk remuk juga, tega adik saya itu?”. “Memangnya kalau makan, kamu kebagian tulang terus ya?”. Ujar bu Nopi penasaran. “Tidak juga, tapi paling banyak seperti itu, katanya sayang kalau dibuang, jadi terpaksa tulang tulang ikan, ayam bahkan tulang sapi pun itu saya yang harus mengunyahnya?”. “Hahahahahahahahaha, nasib nasib?”. Ujar bu Nopi geli mendengar pengakuan bu Saridon, saking tertawanya tanpa sadar bu Nopi sampai terkentut. “Buuuuttt!”.


“Eh, kamu kentut ya?”. Ujar bu Sari. “Sssssstttt jangan keras keras nanti kedengaran?”. Ujar bu Nopi. Efeknya memang luar biasa, bu Eva yang di belakang mereka nampak mengibas ngibaskan tangan di hidungnya, “Kenapa bu Ev?”. Ujar bu Sari santai. “Tau ini, apa arsa beol ya?”. Kata bu Eva sambil memperhatikan pampers arsa anaknya. “Nah, nggak beol?”. Timpal bu Eva lagi. “Saya juga tadi sempat menciumnya, tapi cuma sekelebat terus hilang?”. Ujar bu Sari beralibi.


Kurang lebih lima meter dari tempat bu Nopi, bu Sari dan Bu Eva, nampak Adra muntah muntah, “Woeeeekkk, wooeeekkk?” “Bu Siti, itu si adra muntah?”. Ujar pa Kinoy yang ada dekat anak anak bermain. “Kenapa kamu nak?”. Ujar bu Siti sambil memegang badan anaknya. “Itu ma?. Bau tahi?”. Jawab Adra sambil memegang hidungnya. “Ayo sudah, kita kesana saja?”. Ujar bu Siti sambil membawa anaknya ke pondok. “Kenapa Adra bu Siti?”. Ujar bu Eva penasaran. “Itu, katanya ada bau tahi, lalu muntah?. Padahal disitu tidak ada wc, atau bekas kotoran hewan?”. Balas bu Siti sambil merapikan pakaian Adra. “Wih?” hebat kamu bu Nopi?, jarak lima meter baru terasa efek dahsyatnya?”. Ujar bu Sari yang tahu kalau itu semua akibat kentut dari bu Nopi. “Ssssttt? Jangan ribut?”. Timpal bu Nopi yang nampak santai santai saja.



Dari kejauhan nampak sebuah speedbooat sedang melaju mendekati pantai sambil menarik beberapa buah wahana, banana boat dan donat boat, setibanya di pantai beberapa pengunjung di pondok lain langsung mencoba banana boat yang disewakan tersebut, gelombang cukup besar silih berganti menerpa bibir pantai, angin kencang pun terus menerpa dengan cukup kerasnya, sinar matahari mulai terasa terik namun panasnya tidak begitu teras oleh hembusan angin. Satu persatu rombongan dari tempat lain mencoba menaiki banana boat. Beberapa saat kemudian tiba giliran rombongan bapak guru SMASADASE mencoba menjelajah laut ujung pandaran dengan banana boat, “Ayo pa Sil, naik banana?”. Ujar pa Romi. “Waduh, nggak berani saya, kalian saja?”. Ujar pa Sil ciut.


Akhirnya beberapa orang guru menaiki banana boat, setelah menggunakan pakaian safety yang disediakan merekapun berada di atas banana boat yang sudah terombang ambing oleh gelombang. Sesaat kemudian speedboat dengan gas cukup full mencoba menarik banana yang sudah ditunggangi oleh bapak guru alhasil tarikan pertama terasa sulit akibat gelombang yang menghempas banana ke bibir pantai, baru beberapa meter menuju lepas pantai, banana itu terbalik menyebabkan semua guru itu terpental ke laut hingga terlihat mengapung di atas air laut yang bergelombang tiada henti. “Eh, bu Sari, nanti kita coba naik banana boat yu?”. Ujar bu Nopi dengan bu Saridon yang lagi asyik menikmati buah buahan. “Oke, siapa takut, ajak juga tuh ibu ibu yang lain?”. Balas bu Sari mantap. “Sudah tadi di kasih tahu, semuanya siap, nanti setelah bapak bapak sudah selesai baru kita yang naik?”. “Sippp?, eh tapi kamu bisa berenang nggak?”. “Nggak bisa, tapi kemaren waktu pertama kali mencoba lancar saja, malah asyik?”. Sambung bu Nopi yakin. “Nanti kalau terbalik gimana, kaya bapak bapak tuch?”. “Ah, itu sengaja bapak bapak saja yang membaliknya, pokoknya aman aja?”. “Kalau saya bisa berenang, kamu saja paling nanti yang teriak teriak?” balas bu Saridon.



"siap, 1 2 3 ?”. ujar bu Dibe
“Eh, kita selvie dulu, itu di ajak bu Dibe selvie di sana?”. Ujar bu Rahmi sambil menunjuk batang kayu yang menjorok ke laut, di bawahnya nampak bu Dibe dan bu Ida sudah selvi berdua. Sejurus kemudian nampak bu Nopi, bu Rahmi dan bu Saridon berlari kecil menuju tempat mereka selvie. “Eh, bu Sari, kalau selvie tu harus ba aksi?”. “Oke!!”. Balas bu Sari mantap. “Ibu ibu, siap, 1 2 3 ?”. ujar bu Dibe memberi aba aba. “Ciaaaatttttttt?”. Tiba tiba bu Saridon beraksi mengeluarkan jurus. “Waduh? Bu Sari, koq selvie gitu?”. Ujar bu Rahmi yang hidungnya kena tangan bu Saridon. “Kan, kata bu Nopi, kalau selvie harus beraksi?”. “Waduh? Kakak ku yang satu ini?”. Ujar bu Dibe sambil menapok jidatnya.



“Oh, saya kira beraksi itu mengeluarkan jurus,
waduhlah maka sudah keluar jurus kontau kambe tadi?”.
 Kata bu Saridon santai.
“Maksud saya itu, beraksi bukannya mengeluarkan jurus seperti itu bu Sari, tapi seperti senyum kah, atau ngangkat jari seperti ini?”. Kata bu Nopi menjelaskan lagi. “Oh, saya kira beraksi itu mengeluarkan jurus, waduhlah maka sudah keluar jurus kontau kambe tadi?”. Kata bu Saridon santai. “Kontau kambekah, kontau hantukah, yang kena hidung saya ne?”. Ujar bu Rahmi sambil memegang hidungnya yang tiba tiba mempet. “Ayo kita ulang selvienya?”. Ujar bu Dibe. “Ingat bu Sari jangan beraksi lagi, tenang saja kamu, duduk manis aja jangan macam macam?”. Sambung bu Dibe lalu kemudian mengambil foto. “Eh itu bapak bapak sudah datang naik banana boat, ayo kita lagi?”. Ujar bu Siti yang menghampiri mereka. “Ayo?”. Sahut bu Saridon dengan penuh semangat.



“Huaaaaaaaa huaaaaaa, jangan ikut bapa, jangan ikut?”.
 Teriak Elang
Sayangnya kali ini para anak anak ikut serta di banana boat, jadi terpaksa para ibu ibu harus ekstra perlindungan selama naik banana boat, setelah memasang perlengkapan safety. Anak anak yang ikut sepertinya hanya memikirkan asyiknya saja tanpa berpikir resikonya “Huaaaaaaaa huaaaaaa, jangan ikut bapa, jangan ikut?”. Teriak Elang sambil menangis anaknya bu Eva yang tidak mau ayahnya ikut banana boat, maksud ayahnya ikut sambil menjaga Ega anak tertuanya yang ikut juga merasakan tantangan banana boat, akhirnya pa Nasir pun mengurungkan niatnya untuk ikut banana boat. Yang naik banana pun Idon, anaknya bu Sari, Farel dan Tasa anaknya bu Erna, Echa anaknya bu Ida, Rani anaknya bu Chirul dan ibu ibu guru. Setelah menggunakan pakaian safety mereka semua perlahan lahan ditarik oleh speedboat menerobos gelombang air laut yang tak pernah berhenti menerpa pantai, kemeriahan dan keasyikan mereka rasakan hingga beberapa puluh meter jauh dari bibir pantai, cukup lama mengitari air laut hingga akhirnya mereka kembali di bawa menuju tempat semula, namun sial saat banana hendak putar arah, gelombang menerpa cukup tinggi hingga akhirnya banana boat itu terbalik, semua penumpang jatuh ke laut.


“Tolooooooonggg? Saya tidak bisa berenang?”. Teriak anak anak dan ibu ibu yang tidak bisa berenang, ada yang menangis sejadi jadinya, “Farel, cepat pegang ibu?”. Ujar bu Siti yang berhasil meraih tali speed boat, “Bu, Siti tolong sayaaa, huuuhuuuhuuu saya tidak mau mati?, saya mau tenggelam”. Ujar bu Nopi sambil menangis histeris, begitu juga Rani semakin keras jeritannya. “Aduhhhh, jangan kebanyakan memegang saya, nanti saya yang bisa tenggelam?”. Balas bu Siti yang berusaha keras memegang tali speed boat yang masih terikat dengan speed namun jarak antara speed cukup jauh, menyulitkan speedboat datang. “Echa? Sini pegangan dengan ibu?”. Ujar bu Santi yang berada di paling belakang. Gelombang yang cukup tinggi membuat speedboat kesulitan untuk segera memutar arah mendekati mereka yang mengapung. “Toloong saya, angkat saya duluan...huuuhhhuuuhhuu?”.Tangis bu Nopi yang merasa panik luar biasa. Akhirnya speedboaat datang dan segera mengangkat beberapa orang kedalam speed. “Tolong,. Angkat saya duluan huuuhhuuu?”. Jeritan bu Nopi tiada henti. Karena merasa dirinya tidak di hiraukan oleh anak anak yang duluan di angkat ke dalam speed. Sementara satu orang turun ke laut untuk membalikan posisi banana ke posisi semula, supaya beberepa orang bisa segera naik kebanana itu. “Nah? Jera tidak?”. Ucap bu Ida marah marah sama Echa anaknya yang memaksa ikut naik banana.


Setelah semuanya sudah terangkat dari air, dan sebagaian lagi di dalam speed, perlahan banana boat itu kemudian ditarik melaju bersama speedboat yang berada didepannya, yang masih diatas banana, bu Santi, bu Saridon, bu Rahmi, bu Ida, Ega, Edon dan Echa,  sementara bu Siti, bu Nopi, Farel, Tassa dan Rani berada di dalam speedbooad. Ketika sudah mendekati pantai tiba tiba bu Sari hendak melepaskan pakaian safetynya. “Jangan di lepas bu?”. Teriak bapak yang berada di depan memandu banana tersebut. Untung saja bu Sari susah melepaskan pakaian safetynya, maksud ibu itu melepaskan pakaian safety kalau terbalik mudah untuk berenang, padahal justru dengan pakaian safetylah bisa fatal akibatnya.


Akhirnya mereka sampai ke tempat semula, dengan wajah yang masih diselimuti ketegangan, “Bagaimana bu Nopi, apa mau lagi naik banana?”. Ujar bu Saridon santai. “Aku jera?, biar diupah berapapun saya tidak mau lagi?”. Ucap bu Nopi yang masih gugup dan basah kuyup. “Lho, maka katanya asyik, nggak apa apa, koq jera?”. “Kamu santai bisa berenang, saya mana bisa berenang?”. “Nah? Kenapa tadi naik banana kalau tidak bisa berenang, kan ibu juga yang semangat ngajak tadi?”. “Iya tahu, tapi waktu yang pertama itu nggak terbalik?”. “Jelas aja, saat itu kan gelombangnya kecil tidak sebesar sekarang?”. “Pokoknya aku jera?”. Ujar bu Nopi dengan nada yang masih gugup.


“Kamu juga sok, mau melepas pakaian pelindung segala?”. Sambung bu Nopi. “Soalnya susah kalo berenang?”. “Eh, kalau kamu melepas pakaian pelampung tadi apa yakin bisa berenang sampai ke pantai, mana gelombang besar lagi?”. “Eh, saya ini di kampung terkenal sebagai perenang handal lho, nggak percaya? nanti tanya adik saya bu Dibe?”. Ujar bu Saridon percaya diri. Saat itu mereka di hampiri bu Dibe yang datang membawa handuk untuk kakaknya itu. “Bu Dibe, benar ya bu Sari ini perenang handal?”. Ujar bu Nopi penasaran “Ah, perenang handal apanya?”. Balas bu Dibe ketus. “Tadi katanya perenang handal di kampung?”. Sambung bu Nopi. “Jelas aja perenang handal, itupun berenangnya di kolam buatan pa Sil yang pakai tarpal itu?”. “Kalau itu, saya juga bisa bu Sari?”. Ujar Nopi sambil memandang bu Saridon yang tertawa santai.


“Eh, bu Dibe, tadi itu bu Sari ini mau melepaskan pakaian pelampungnya, untung saja di marahi oleh bapak itu?”. Sambung bu Nopi ketus. “Akayah?. Kenapa bisa begitu kak, kalau terjadi apa apa saya juga yang repot, nanti nggak ada lagi yang bikin masakan buat kita, terus tulang tulang ikan siapa yang menghabisi nanti?”. Ujar bu Dibe sewot. “Itu lagi?, tulang lagi yang di bicarakan, mangnya gigiku ne dari gergaji?”. Celetuk bu Sari kesal. “Hahahahaha,.. gigi kakak tu gigi piranha?”. Ujar bu Dibe bercanda. “Ayo kita mandi?, habis basah semua ini?”. Ujar bu Nopi. Mereka pun berjalan menuju tempat mandi air tawar yang di sediakan pengelola, namun harus mengeluarkan beberapa ribu untuk mendapatkan air bersih itu.


“Ya, tunggu sebenar nak?”. Ujar bu Siti
Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas, beberapa orang guru mempersiapkan tempat membakar ikan, udang dan ayam yang di bawa dari sampit untuk di santap siang itu, nampak bu Siti, bu santi, dan bu Hadi mempersiapkan tungku buatan menaruh arang untuk panggangan ikan. Hembusan angin kencang cukup membuat bara api terus menyala hingga membuat ikan, udang dan ayam yang di bakar cepat matang. “Ma, lapar?”. Ujar adra dengan ibunya yang lagi sibuk membakar ikan. “Ya, tunggu sebenar nak?”. Ujar bu Siti sambil membalik beberapa potong ikan peda yang sudah mulai matang. Nampak bu Dibe sedang mengolah sambal buah rembang yang pedas. Tidak beberapa lama bu Nopi, bu Rahmi dan bu Ida membantu menyelesaikan membakar ikan, kurang lebih setengah jam akhirnya ikan ikan itu sudah siap di santap, beberapa orang guru dan anak anak masing masing mendapatkan jatah makannya sesuai keinginannya masing masing. Suasana siang di pondok ujung pandaran dinikmati dengan santap siang yang lezat, tidak terasa semua perbekalan logistik tidak tersisa, begitu pula nasi hingga air minum. Semuanya habis dan tidak ada yang mubazir. Jam satu siang, semua rombongan siap siap kembali menuju sembuluh dengan membawa cerita masing masing, pengalaman refresing yang asyik dan penuh ketegangan.

Cerita Senada :
Dunia Kami..
Mulen Menggapai Cita ..."
Suara Aneh Di Tengah Danau....?"
Inikah Rasanya Prajabatan Di Jogja...?"

- The end -

 Di dedikasikan untuk :
bu Hadisuyatni, S.Pd.MM
bu Nurul Eva Widya Statik, SE
bu Choirul Umatin, S.Pd
bu Rahmi Zakiyah, S.Pd
bu Susanti, S.Pd
bu Siti Musliah, S.Hut
bpk. Muhammad Kalyudi, ST
bu Novita Dewi Lestari, S.Pd
bpk. Meirezarianur, S.Pd
bpk. Rahmat Susanto, S.Kom
bpk. Saifullah, S.Pd
bu Dibe, S.Pd
bpk. Taufik Hidayat, S.Pd
bu Ernawati, S.Pd

bu. Sari
bpk. Edi  
bpk. Yasir
bpk. ................
bpk. Ari
bpk. Rommi
bu. Idae Riyeni, SE
Ega
Elang
Arza
Echa
Cio
Idon
Tega
Tasa
Farel
Adra
Reihan
Dimas
Rani
Aira
Kaka
Mutia

Tidak ada komentar:

LAUK KAPAR

           PILIHAN GANDA 1.       Cepat atau lambatnya air meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah baik ke arah horizontal maupun k...